Selasa, 13 Maret 2012

Penggosip

Selamat malam ibu-ibu yang dikasihi oleh Tuhan.
Tema kita malam ini adalah ‘PENGGOSIP’.
Orang yang suka bergosip, disebut sebagai penggosip.
Gosip itu singkatan dari ‘makin digosok, makin sip’, maksudnya adalah suatu cerita yang beredar dari satu mulut ke mulut lain, dari satu telinga ke telinga lain, dan itu sudah disertai dengan bumbu-bumbu yang menarik, sehingga cerita semula bisa sangat berbeda maknanya, atau malah menjadi suatu cerita yang tidak jelas kebenarannya.
Namun anehnya, banyak orang yang suka dengan gosip, maksud saya suka bergosip dan suka menjadi penggosip, tapi tidak mau kalau digosipkan.
Benar kan? Mau tidak ibu-ibu digosipkan? Bukan KD (Kris Dayanti), tapi KG (Korban Gosip). Ada yang bersedia jadi sukarelawan menjadi korban gosip? Tentunya tidak ada seorangpun yang mau digosipkan kan? Tapi kalau bergosip, itu tidak bisa dihindari, benar ibu-ibu?

Ada banyak hal yang bisa digosipkan / ‘diceritakan’. Mulai dari masalah keluarga (hubungan suami-istri, perilaku anak, mertua, adik ipar dll), masalah keuangan (tetangga punya rumah baru, gaji naik, pekerjaan, dll), masalah penampilan (kosmetik, salon, operasi wajah, merk pakaian, dll). Pokoknya banyak deh. 

Dari buku yang saya baca (High-Maintenance Relationship, oleh Les Parrott III, Ph.D.), dituliskan kalau rata-rata setiap orang mengucapkan kebohongan (dalam hal bergosip) sebanyak 13 kali setiap minggu, bahkan itupun tanpa disadari kalau sudah berbohong. Wah, kita musti hitung nih mulai hari ini sampai dengan Kamis depan, benar tidak yah penelitian tersebut.

Nah, apa kata firman Tuhan tentang bergosip ini?

Sekarang, mari kita membuka firman Tuhan dari Amsal 25:9, “belalah perkaramu terhadap sesamamu itu, tetapi jangan buka rahasia orang lain”.

Biasanya orang mau bergosip karena mau tahu urusan orang lain, atau ingin menjadi orang yang pertama tahu mengenai ‘informasi’ yang belum diketahui oleh orang lain. Gosip juga dianggap sebagai salah satu cara untuk mendapatkan ikatan persahabatan atau kunci penerimaan sosial. Yaitu kebutuhan untuk diterima. Bergosip juga disukai karena dengan bergosip membuat kehidupan mereka lebih normal.

Namun Amsal 25:9 mengatakan untuk kita jangan membuka rahasia orang lain. Kalau memang bermasalah dengan diri kita sendiri, kita berhak dan boleh membela masalah kita (debate your case with your neighbor), tapi jangan sampai membawa-bawa orang lain.

Ibu-ibu yang dikasihi Tuhan, lihat apa yang saya bawa ini? Coba sebutkan. Yah benar, kertas yang ada titik-titiknya. Ada yang berwarna hitam, merah, dan biru. Ketika kertas ini saya angkat dan saya tunjukkan kepada ibu-ibu, yang pertama kali dilihat yang titik-titiknya kah? Atau ibu-ibu melihat kertas putihnya? Padahal yang noktah ini lebih sedikit dibandingkan dengan kertas putihnya. Tapi itulah yang mencolok dan itulah yang kita lihat dulu.
Bukankah kita seperti itu juga? Kalau kertas ini digambarkan sebagai kehidupan orang lain, maka yang kita lihat adalah bercak yang ada di dalam kehidupan mereka, dan itu yang kita ekspos dan kita ceritakan. Tapi yang bersihnya tidak kita lihat atau kita malas lihat.

Ibu-ibu yang dikasihi Tuhan, jangan pernah membicarakan keburukan atau kehidupan orang lain, kalau mau, ceritakan saja kehidupan sendiri. Ini akan mencegah gosip dan mencegah kita menjadi penggosip.

Kenapa kita dilarang untuk membicarakan orang lain dalam hal gosip?

Mari kita lihat dalam Yakobus 1:26, “jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya”.
Yakobus 3:5, “demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar”.

Ibu-ibu, percuma kita beribadah, kata Yakobus, kalau ternyata kita tidak bisa menahan perkataan kita.
Jangan ikut-ikut dalam bergosip. Ada satu orang yang pernah mengatakan kepada saya, untuk mengatasi supaya tidak ikut bergosip adalah dengan langsung cut dengan mengatakan, “maaf, saya tidak mau mendengar hal itu yah.” Dan gosip itu pun tidak jadi masuk dalam telinganya.   

Suatu hari, ada seorang ibu yang membicarakan tetangganya. Dan pembicaraan itu ternyata akhirnya menyebar sampai ke seluruh kompleks perumahan tersebut. Padahal belum dilihat kebenarannya. Kemudian, si ibu yang pertama kali menggosip itu, baru tahu kalau ternyata cerita yang dia sampaikan ke orang-orang di kompleksnya, adalah cerita yang salah. Ibu ini menyesal dan ingin memperbaiki kesalahannya.
Ibu ini berusaha keras mencari cara supaya cerita itu tidak lagi berkembang, dan akhirnya ibu itu menemui seorang pendeta dan meminta solusi dari sang pendeta.
Pendeta mendengarkan lalu berkata kepada si ibu, “ambil satu bantal kapuk di rumah, lalu datanglah kembali kesini, tapi selama dalam perjalanan, buang dikit demi sedikit kapuk dalam bantal itu, sampai kapuknya habis, nanti saya akan kasih tahu apa lagi yang harus ibu lakukan”.
Singkat cerita si ibu melakukannya, dan tiba di rumah pak pendeta dengan bantal yang sudah habis kapuknya. Pak pendeta lalu meminta si ibu untuk mengumpulkan kembali kapuk-kapuk yang sudah disebarnya di sepanjang jalan.
Ibu itu kaget, dan berkata, ‘tidak mungkin, semuanya sudah tersebar dan ditiup angin, sangat sulit untuk mengambil kembali’. Pak pendeta tersenyum dan berkata, ‘begitulah perkataan yang sudah engkau katakan tentang tetanggamu itu, sudah tidak mungkin lagi ditarik kembali’.

Ibu-ibu yang dikasihi Tuhan, kita harus menjaga lidah kita. Kita harus menjaga perkataan yang keluar dari mulut kita, jangan sampai kita menjadi penggosip yang nantinya malah akan merusak kehidupan orang lain.

Agar terhindar dari perkataan yang mengarah kepada gosip, maka kita harus belajar untuk menggunakan lidah kita dengan baik.

Efesus 4:29 menuliskan “janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia”.

Ibu-ibu, sudah sering kita dengar kalau perempuan itu identik dengan banyak bicara. Dan soal gosip, pasti perempuan yang disalahkan, padahal para laki-laki juga suka bergosip, hanya saja yang mereka bicarakan berbeda topiknya dengan kita. Iya khan?

Hanya karena perempuan lebih banyak berbicara dibandingkan dengan laki-laki, maka perempuan identik dengan yang namanya gosip. Dan yang namanya bergosip, pasti membicarakan kejelekan orang lain, dan itu merugikan orang yang digosipkan.
Tapi Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus meminta agar jemaat bisa menjaga setiap perkataan yang keluar dari mulut mereka.
 
Seorang pendeta baru saja memasang gigi palsu. Minggu pertama, dia hanya berkhotbah 10 menit. Minggu kedua, dia berkhotbah hanya 20 menit. Namun pada minggu ketiga, ia berkhotbah 1 jam 25 menit.
Ketika beberapa jemaat menanyakan hal ini kepadanya, ia menjawab, “Minggu pertama, gusi saya begitu sakit untuk berbicara. Minggu kedua, gigi palsu saya cukup menyakiti saya. Minggu ketiga, saya sengaja mengambil gigi palsu istri saya...dan saya tidak bisa berhenti bicara!”

Ibu-ibu, biarlah kita menggunakan ‘karunia’ berbicara kita dengan baik, sesuai dengan firman Tuhan. Yaitu mengeluarkan kata-kata yang membangun dan menghibur orang lain, dan bukannya menggosipkan dan membicarakan keburukan orang lain.

Tiga hal yang kita pelajari malam ini untuk mencegah kita supaya tidak menjadi penggosip:
1.    Jangan pernah membicarakan orang lain, lebih baik bicarakan tentang diri sendiri.
2.    Berusaha untuk mengekang setiap perkataan yang keluar dari mulut kita.
3.    Mengeluarkan perkataan yang membangun dan menghibur orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar